Sunday, July 1, 2007

Berdosakah kalau Saya mengejar Kenikmatan dan Kebahagiaan?

Berdosakah kalau kita menikmati dan hidup dalam kenikmatan?
Setiap orang mencari kebahagiaan, kepuasan dan kenikmatan dalam hidup ini. Entah caranya menyiksa dirinya, bersusah-susah dahulu atau memanjakan dirinya, pada akhirnya semua orang menginginkan bisa merasakan kebahagiaan.
Orang-orang yang terbiasa dengan hidup yang keras terhadap dirinya dan berusaha terus-menerus memikul salib, akhirnyapun menikmati apa yang dilakukannya, sambil membayangkan kenikmatan akhir yang akan didapatkannya.

Masalahnya, mengejar sudah dianggap sebagai keberdosaan dan egois. Hal ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bisa memikul salib dan sangkal diri. Orang-orang yang hanya mengikuti keinginan dunia ini dan berlawanan dengan kehendak Allah.
Apakah betul bahwa kenikmatan selalu berhubungan dengan keberdosaan?

Definisi Kenikmatan
Kata kenikmatan (enjoyment) lebih dekat dengan satu kata di dalam bahasa Yunani, eudaimon, artinya ‘bahagia’. Sementara Webster sendiri menjelaskan kenikmatan adalah pikiran yang puas; sensasi atau emosi yang serasi; perasaan yang dihasilkan oleh sukacita atau pengharapan akan kebaikan. Jadi, kenikmatan adalah kondisi ideal yang diharapkan manusia. Kondisi di mana manusia berbahagia dan bisa menikmati hidupnya.

Kenikmatan itu sendiri bisa benar tetapi juga bisa berdosa bergantung dari motivasi dan akibat dari apa yang dinikmati. Ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu kita. Apakah kita mengejarnya hanya untuk pemuasan nafsu yang berdosa? Ataukah itu datang tanpa kita mencarinya? Ataukah kita mengejarnya dengan memuliakan Allah? Begitu juga dengan tanggapan kita ketika kenikmatan itu hadir? Adakah kita begitu memujanya, terikat dengannya dan melupakan sumbernya? Ataukah kita bisa menikmati tanpa terikat dan memuliakan Allah yang menjadi sumbernya. Apakah kenikmatan itu berakibat buruk terhadap hidup kita ataukah terus membuat kita bersukacita di dalam Allah? Puaskah kita dengan semua kenikmatan itu ataukah kita malah semakin bosan dengan segala kenikmatan itu?

Kenikmatan dan Sangkal Diri
Banyak orang Kristen berpikir bahwa kalau menyangkal diri sama dengan membuang segala kenikmatan dan kesenangan. Karena tidak lagi mengikuti keinginan diri, diri kita sudah mati dan kita sudah dibangkitkan menjadi ciptaan yang baru. Sementara dalam kenyataan hidup, ternyata manusia lama dan segala keinginannya belum tuntas bersih dalam hidup kita, meskipun secara status sudah bersih dan dijamin pasti akan bersih sempurna.
Keadaan ini membuat orang Kristen melihat kenikmatan hanyalah bersumber dari keinginan diri yang berdosa yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam diri orang percaya. Dan kalaupun itu tetap ada, maka kenikmatan adalah pencobaan yang berasal dari si jahat yang ingin menjatuhkan orang percaya.

Tetapi, kalau kita memikirkan lebih lanjut, maka kita seharusnya membedakan dua macam kenikmatan. Kenikmatan yang berdosa dan kenikmatan yang suci. Kenikmatan yang berdosa adalah kenikmatan yang bertentangan dengan penyangkalan diri. Kenikmatan ini adalah kenikmatan yang dimiliki oleh orang-orang tidak percaya, dimana iblis yang menjadi sumber dari kenikmatan ini.

Sementara kenikmatan yang sejati adalah kenikmatan yang dimiliki tanpa membuang penyangkalan diri, melainkan di dalam penyangkalan diri. Kenikmatan ini bersumber dari Allah dan tujuan paling akhirnya pada Allah.
Orang yang menyangkal dirinya bagi Kristus adalah orang-orang yang melihat kepentingan, keinginan dan kehendak Allah melebihi keinginan dan kehendak pribadi. Maka pertanyaannya, apakah Allah menginginkan kita menderita dan tidak ada kenikmatan sama sekali seumur hidup kita?
Dan kalau kita memperhatikan dengan lebih seksama, maka orang-orang yang menyangkal dirinya, awalnya seperti dalam kesulitan dan penderitaan dan bahkan kelihatannya membuang segala kenikmatan dunia. Tetapi, kalau kita perhatikan lebih lanjut maka orang-orang yang kelihata membuang segala kenikmatan ternyata adalah orang-orang yang lebih puas dan bahkan bisa menikmati hal-hal yang paling sederhana di bumi ini dengan ucapan syukur kepada Allah.

Orang-orang yang menganggap harta, hiburan, dan kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia serta mengikuti segala keinginan hatinya adalah kenikmatan yang tertinggi, akan menganggap sangkal diri menjadi hidup tanpa kenikmatan dan kehilangan kenikmatan. Tetapi, orang-orang yang salah melihat pengertian sangkal diri dengan membuang semua kenikmatanpun akan tetap menikmati, karena orang-orang itu bisa melihat apa yang baik dan benar sehingga pada akhirnya akan menikmati meskipun hidupnya dibatasi dengan banyak hal yang tidak boleh.
Apalagi dengan orang-orang yang mengerti penyangkalan diri yang benar, seharusnya bisa lebih menikmati karena tidak membuang kenikmatan, melainkan menguduskan kenikmatan itu untuk memuliakan dan menikmati Allah.
Selanjutnya, bagaimana dengan Pikul Salib? Bukankah tidak ada kenikmatan sama sekali di dalamnya, kecuali orang-orang yang suka menderita yang akan menikmatinya?!

Kenikmatan dan Pikul Salib
Sepertinya tidak ada yang bisa menikmati ketika memikul Salib. Jalan penderitaan dan menuju kematian. Kesaksian banyak orang yang bersedia menjadi martir dan melakukan apa saja penuh ‘pengorbanan’ demi Kristus dinyatakan dan dimuliakan sepertinya hanya menunjukkan hidup yang penuh penderitaan dan tidak ada kenikmatan sama sekali.

Tetapi, ketika kita membaca buku, mendengar kesaksian atau menonton film-film yang menceritakan tentang orang-orang yang memikul salib, mengapa kita terharu, bersukacita dan tidak ada perasaan menderita sama sekali? Apakah orang-orang yang mengalami semua penderitaan itu tidak memiliki perasaan yang sama seperti kita orang-orang percaya yang mengerti makna salib dan pikul salib?

Apakah karena kita tidak mengalami penderitaan itu maka kita bisa bersukacita? Dan penderitaan mereka terlalu berat untuk merasakan sukacita yang seperti kita alami?
Ternyata dari kesaksian-kesaksian yang ada dan tentunya yang terutama dari Alkitab, kita bisa membaca, mendengar dan melihat bahwa mereka yang mengalami penderitaan dan bahkan harus mati mengikuti jalan salib Kristus justru lebih berbahagia, puas dan menikmati sekalipun harus menanggung penderitaan itu. Tentunya bukan sakit dan penderitaan yang membuat mereka puas, bersukacita dan menikmati, melainkan ketika mereka dianggap layak menderita bagi Kristus, diberi kesempatan dan anugerah melakukan kehendak Allah. Ya, kepuasan mereka karena melakukan kehendak Allah. Itulah yang membuat mereka tetap bersukacita.

Orang-orang yang terlalu mencintai diri dan nyawanya dan menganggap dirinya tidak boleh mengalami penderitaan dan kesulitan, apalagi mati, tidak akan mau memikul salib karena menganggap akan kehilangan segala kebahagiaan dan kepuasannya yang berpusat kepada dirinya sendiri. Orang-orang ini akan mengalami kesulitan yang besar ketika harus kehilangan semua sumber kenikmatannya. Karena semua kenikmatan sementara pasti akan hilang, hanya tinggal menunggu waktu. Apakah itu kecantikan masa muda, kesehatan, kekayaan, dan segala macam penghiburan yang ditawarkan oleh dunia, tidak ada yang kekal.
Tetapi orang yang memikul salib, menderita dan bahkan mati tidak mengalami masalah ketika harus meninggalkan semua kenikmatan yang sementara. Karena mereka sudah terbiasa menjaga jarak sambil menikmatinya dan mengerti bagaimana memanfaatkannya sesuai waktunya. Ketika harus meninggalkan semuanya, mereka sudah siap.
Jadi, sesungguhnya orang-orang yang menyangkal diri dan pikul salib adalah orang-orang yang paling bahagia, puas dan menikmati hidup ini. Lebih jelas lagi kita akan melihat perbedaan cara pandang yang ada sehingga kita bisa mengerti mengapa orang-orang yang menyangkal diri dan memikul salib bisa tetap menjadi orang-orang yang paling bahagia dan menikmati hidup ini.

Siapa yang berdosa?
Kalau betul begitu, mengapa kita tidak mengejar kenikmatan dan kebahagiaan yang sejati. Bukankah Allah sudah menyediakan semuanya bagi kita? Mengapa kita tidak melihatnya, memintanya dan menikmatinya? Bukankah itu juga adalah bagian dari kehendak Allah bagi kita?

Kita berdosa, ketika kita mengejar kenikmatan yang berdosa dan membuang penyangkalan diri dan salib yang harus dipikul. Tetapi, kita juga berdosa ketika memikul salib yang tidak harus dipikul dan membuang semua kenikmatan yang kudus yang sudah disediakan Allah bagi kita.
Kedua dosa ini terjadi pada saat Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan terus menjadi pola bagi manusia berdosa untuk terus berdosa dengan kenikmatannya.
Allah sudah menumbuhkan berbagai-bagai pohon yang buahnya menarik dan baik untuk dimakan. Kenikmatan yang didapatkan oleh manusia tanpa harus bekerja keras, semuanya sudah disediakan, yang menarik dan baik. Kenikmatan yang Allah anugerahkan banyak sekali, karena semua pohon di Taman Eden, kecuali pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat yang tidak disebutkan menarik dan baik untuk dimakan dan bahkan dilarang untuk dimakan. Hanya satu yang dilarang.

Ketika Adam dan Hawa tidak melihat semua pemberian ini sebagai anugerah kenikmatan yang bisa memuaskan hidup mereka, maka mereka berdosa karena tidak menghargai anugerah Allah. Hal ini tersirat dari percakapan antara Ular dan Hawa di dalam kisah sesudah Penciptaan dunia ini. Tipuan Iblis membuat seolah-seolah pemberian Allah kurang, ketika Ia memutar-balikkan kalimat Tuhan Allah yang mengatakan ‘semua boleh, kecuali’ digantikan dengan ‘semua tidak boleh’. Ternyata tipuan ini berhasil membuat Hawa masuk dalam perangkap Iblis, terlihat ketidakpuasannya dengan menambahkan kata ‘tidak boleh raba’. Tinggal selangkah lagi, jatuh ke dalam dosa berikutnya.

Dosa berikutnya, melihat kenikmatan sementara melebihi kenikmatan yang merupakan anugerah Allah. Buah pengetahuan yang baik dan jahat tidak pernah dikatakan menarik dan baik untuk dimakan. Tetapi, Hawa melihatnya menjadi berbeda. Hawa melihat buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Yang tidak menarik menjadi menarik, yang tidak nikmat menjadi nikmat. Dosa sudah memutar balikkan semuanya. Yang tidak memuaskan ditawarkan menjadi sangat memuaskan. Kenyataannya semakin dihibur, justru hidup semakin kosong dan semakin tidak puas.
Bagaimana dengan kenikmatan sejati yang sudah Allah sediakan? Adakah yang masih bisa melihatnya? Sekalipun harus menyangkal diri dan memikul salib untuk menikmatinya, mengapa tidak? Bagaimana melihatnya?

No comments: